VIVAnews - Gas air mata dan lemparan batu bersahutan di depan Gedung DPR RI, 30 April Jumat pekan lalu. Di Jakarta, Medan, Makassar, dan kota-kota lainnya ribuan demonstran mahasiswa dan buruh tumpah ke jalan, menentang rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Di tengah hiruk-pikuk itu, tiba-tiba dari Belanda terdengar kabar ada penemuan baru. Para ilmuwan di sana tengah mengolah urin alias air seni alias air kencing manusia sebagai energi alternatif pengganti BBM.
Berita dahsyat itu pertama kali disiarkan oleh Radio Nederland. Para ilmuwan Negeri Oranye telah berhasil menguji kekuatan si “air kuning”. Kabarnya, hasilnya amat menjanjikan.
Adalah Universitas Teknologi Delft dan lembaga penelitian DHV yang mengembangkan teknologi pemrosesan urin ini. Baru-baru ini, mereka berhasil mendaftarkan paten temuan ini di China, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan Eropa. "Kami memproses urin yang dikumpulkan secara konvensional dan kimiawi," kata Andreas Glesen, Manajer Inovasi DHV Research.
Menurut Thiss Westerbeek, jurnalis Radio Nederland di Belanda, bahan bakar urin ini telah memasok energi setara 110 ribu Megawatt di 30 ribu rumah atau seluas satu kota kecil. Jika produksi urin ditingkatkan, para periset memprediksi daya yang dipasok bisa digenjot hingga lima kali lipat untuk jumlah rumah yang sama. Dan ini yang terpenting, tak cuma bisa dipakai untuk memasak, “energi kuning” ini dapat digunakan sebagai BBM alternatif untuk menggerakkan mobil bertenaga listrik.
Proses mengubah urin menjadi sumber energi alternatif ini cukup “sederhana”. Air seni mengandung senyawa amonia. Jika dipanaskan secara perlahan, urin akan berubah menjadi gas amonia. Gas tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sel bahan bakar (fuel cell), sejenis generator, dan kemudian digunakan untuk memproduksi energi lisrik. (lihat Infografik: Dari Urin ke Energi Listrik)
Jika pasokan urin dijaga selalu tersedia, energi listrik pun bisa diproduksi terus-menerus, setiap saat. Inilah keunggulan teknologi ini dengan energi yang dikonversi dari angin dan matahari, yang amat bergantung pada kondisi alam.
Sudah begitu, bahan sisa pemrosesan urin, asam fosfat, juga bisa digunakan untuk membuat pupuk urea yang tak berbahaya karena tak mengandung bahan kimia.
Temuan ini akan dibuka untuk para investor. Meskipun biaya awalnya cukup tinggi —tak dijelaskan berapa-- namun investasi selangit itu diproyeksikan sudah akan kembali dalam waktu 8-10 tahun. Di Belanda, jangka waktu seperti itu dianggap masih masuk akal dan bisa diterima dunia bisnis. “Penelitian ini dibiayai oleh pemerintah,” ujar Thiis.
Keseriusan Belanda mengolah air seni bisa ditarik lebih jauh ke belakang. Seperti dilansir CSIR e-News, untuk mengambil kekuatan “si kuning”, sejak tahun 2006 mereka telah mengembangkan teknologi yang dapat memisahkan air dari urin di toilet. Teknologi ini dikembangkan Dr. Jac Wilsenach. Gelar doktornya dia dapat dari Universitas Delft.
“Kita harus melihat urin sebagai sumber daya ketimbang limbah,” begitu kata Wilsenach yang kini bekerja sebagai peneliti senior CSIR Natural Resources and Environment.
Menurut dia, sebagai limbah kebanyakan urin mengandung 80 persen nitrogen, 50 persen fosfat, dan 70 persen potasium. Untuk memisahkan zat-zat itu dari air urin diperlukan toilet pemisah khusus. Maka, dia pun menciptakan toilet spesial yang diberi nama “NoMix.” Kendalanya, untuk mendapat bahan baku urin segar, jutaan rumah harus dibuat untuk mengganti toilet lama mereka dengan Nomix. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.
Wilsenach tak hilang akal. Bekerja sama dengan pemerintah lokal, dia akan memasang "NoMix" di tempat-tempat umum: di blok perkantoran, sekolah, mal, dan bandara. Di area publik itu urin melimpah ruah, dan selama ini terbuang percuma. Dari situlah terbuka lebar untuk memproduksi energi alternatif dari urin jadi terbuka lebar.
Amerika Serikat
Diam-diam, teknologi ini tak hanya dikembangkan di Belanda, tapi juga di sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Meksiko, dan Skotlandia.
Di Amerika Serikat, pelopornya adalah Profesor Gerardine Botte dari Universitas Ohio. Pada tahun 2009, ia melihat ada tiga kelemahan dalam bahan bakar fosil. Pertama, tidak bisa atau sulit diperbarui. Kedua, proses eksplorasinya butuh biaya besar. Dan ketiga, emisi gasnya terbukti menyebabkan peningkatan pemanasan global.
Dia juga melihat kelemahan bahan bakar hayati (bio-fuel). Sebab, di masa depan ini akan menyebabkan perebutan antara kebutuhan akan makanan dan bahan bakar.
Maka, dia pun melirik urin. Dia melihat kemungkinan urin menjadi sumber energi masa depan buat kendaraan berbahan bakar hidrogen.
Botte melihat urea adalah zat terbanyak di urin. Urea itu merupakan sumber potensial untuk dikonversi jadi hidrogen. Lantas, dia memanfaatkan teknologi elektrolit untuk menghasilkan hidrogen dari air seni. Setiap molekul urin mengandung empat atom hidrogen. Jumlah ini lebih banyak dibanding hidrogen yang dikandung air. Dalam perhitungannya, seperti dikutip wired.com, mengolah hydrogen dari urin lebih efisien biayanya ketimbang dari air. Listrik yang digunakan juga hanya 0,37 volt, sementara dari air memerlukan 1,23 volt.
Urin juga melimpah. Saban hari setiap orang mengeluarkan urin sebanyak 0,9 sampai 1,5 liter per hari. Kalikan saja dengan jumlah penduduk dunia yang berkisar 7 miliar. Dengan demikian, tersedia 7 miliar liter urin segar setiap hari untuk dikonversi menjadi hidrogen.
Kini, Botte tengah difasilitasi Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk membuat kendaraan tempur ringan berbahan bakar hidrogen dari urin. “Dengan demikian, tentara di lapangan bisa membawa BBM-nya sendiri,” kata Botte seperti dikutip Discovery News. Itu bukan guyonan, karena memang bisa jadi persoalan serius di medan perang yang sulit, seperti gurun atau hutan.
Inggris
Di negeri Big Ben, BBM-urin diteliti Dr. Ioannis Jeropoulos dan timnya dari Universitas West England, Bristol. Menurut The Guardian, dia telah mempublikasikan hasil risetnya di Journal of Physical Chemistry.
“Urin secara kimia sangat aktif, ” kata Dr. Jeropoulos. Menurut hitungan dia, tiap manusia memproduksi urin sebanyak 6,4 triliun liter urin per tahun. Jumlah itu lebih dari mencukupi untuk mensuplai teknologi Microbial Fuel Cell (MFC) atau sel bahan bakar mikroba yang tengah dia kembangkan.
Penelitiannya sudah berjalan tiga tahun. Dia menggunakan energi MFC dari urin untuk menggerakkan robot EcoBot III yang dia rancang bersama peneliti Bristol Robotics Laboratory. Dia melihat urin banyak mengandung nitrogen, urea, klorida, kalium dan bilirubin. Ini material yang sangat baik untuk sel bahan bakar mikroba. Menurut dia, 25 mililiter urin yang disuntikkan ke kotak anoda bisa menghasilkan daya 0,25 megawatt listrik--cukup untuk menyalakan alat bantu pendengaran selama tiga hari.
Meksiko
Diungkap Space Safety Magazine, Badan Luar Angkasa Meksiko pun rupanya tengah meneliti kegunaan urin untuk kepentingan penjelajahan luar angkasa. Penelitian itu dipimpin Prof. Gabriel Lunar Sandoral. Dia meneliti urin untuk menghasilkan hidrogen dan oksigen untuk dimanfaatkan di luar angkasa. Hidrogen bisa dijadikan bahan bakar pesawat luar angkasa, sementara oksigen—tentu saja--untuk bernafas. NASA sendiri sejauh ini baru mengolah urin menjadi air minum.
Skotlandia
Di negeri “Brave Heart”, penelitian air seni untuk menjadi pengganti BBM tengah dilakukan di Fakultas Teknik dan Ilmu Fisika Universitas Edinburgh. Dua orang doktor kimia di universitas itu, Shanwan Tao dan Rong Lan, mendapat hibah 130 ribu pounds untuk melakukan riset penting tersebut.
Indonesia
Lantas bagaimana di negeri yang riuh dengan soal harga BBM ini?
Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ir. Erlan Rosyadi M.Eng, garuk-garuk kepala. “Riset urin? Tidak pernah kita melakukan itu,” ujarnya kepada VIVAnews (lihat Energi Alternatif, Dari Kakus ke Dapur).
Hal senada disampaikan Dr. Neni Sitawardani, peneliti fisika senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut dia, urin belum diteliti sebagai alternatif pengganti BBM.
Urin, jelas Dr. Neni, baru dimanfaatkan untuk membuat pupuk. Salah satu yang memeloporinya adalah sebuah pabrik pupuk di Indramayu. Petani di sekitar pabrik itu menggunakan pupuk urin itu. “Hasilnya cukup bagus,” kata Neni. Selain mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, para petani mengaku padi yang dihasilkan lebih pulen dan manis.
Nah!
Daripada ribut terus tak berkesudahan, kenapa tak segera saja meneliti dan memanfaatkan air kencing 250 juta penduduk negeri yang amat haus BBM ini? (kd)
0 komentar:
Posting Komentar